Alt/Text Gambar
Home » » Misteri Dan Makna Lafadz Dzikir 'Hu'

Misteri Dan Makna Lafadz Dzikir 'Hu'

Menoreh Tinta - Di lingkungan beberapa tarekat sufi, sering terdengar lantunan zikir dengan lafaz hu, yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya "Dia". Para sufi sendiri jarang yang memandang ini sebagai sebuah persoalan, tapi sebagian 'ulama eksoterik' ('ulama al-Zhahir) ada yang mempersoalkan.

Lafadz Dzikir Hu
Foto: qureta.com/Muhammad Nuruddin

Zikir dengan lafaz tersebut—dan lafaz-lafaz sejenisnya seperti ah dan lah—menurut kelompok yang terakhir ini adalah "zikir yang cacat" (dzikrun fasid) dan tak diperbolehkan. (Baca juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Nur Muhammad)

Mahmud Syaltut, Mantan Grand Syekh al-Azhar, misalnya, dalam salah satu fatwanya menegaskan bahwa zikir dengan lafaz ah itu sama hukumnya dengan zikir menggunakan lafaz-lafaz yang tidak absah. Karena lafaz itu tidak absah, maka hukumnya pun menjadi haram dan tidak sah.

Sebab, berzikir itu—demikian Syaltut—harus menggunakan lafaz yang terekam dalam al-Quran dan tercantum dalam Sunnah. (Lihat Mahmud Syaltut, Al-fatawa: Dirasat li Musykilat al-Muslim al-Mu'ashir fi Hayatihi al-Yaumiyyah al-'Ammah, Kairo: Dar el-Shorouk, hlm. 171).

Namun, kelompok sufi memiliki titik tolak pemahaman yang berbeda dari yang tadi. Syekh Yusri—sebagai seorang sufi—misalnya memandang bahwa zikir dengan lafaz hu itu tak termasuk kategori zikir yang cacat (dzikrun fasid) dan tertolak sama sekali.

Lafadz Dzikir Hu itu, kata Syekh Yusri, sejujurnya hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah sampai pada maqam spiritual tentu. Dan, yang penting dicatat, tidak semua sufi melakukan hal itu.

Dalam tradisi Madarasah Syadzuliyyah-Yusriyyah sendiri—tegasnya lebih lanjut—zikir semacam itu tak dianjurkan. (Baca juga: Islam Era Modern Dan Bagaimana Pola Pikir Mereka)

Beliau mengatakan: "…Saya sendiri tak pernah melakukan dan menganjurkan berzikir dengan lafaz seperti itu. Tapi kalau ada yang melakukan hal demikian ya tidak bisa kita ingkari dan tidak jadi persoalan besar. Karena saya tahu, ada wal-wali besar yang berzikir dengan lafaz seperti itu. Dan kita tidak boleh bersikap kurang ngajar kepada wali." Demikian kurang lebih Syekh Yusri dalam suatu pengajian.

Sekali lagi, penting diingat bahwa para sufi yang melantunkan zikir dengan lafaz hu—dan lafaz-lafaz sejenisnya—adalah mereka-mereka yang sudah sampai pada maqam spiritual tertentu, dan tidak semua sufi melakukan hal itu.

Pertanyaannya kemudian: jika dari sudut fikih zikir dengan lafaz seperti ini bermasalah, maka bagaimana kita memahami persoalan ini dari kaca mata para sufi? Fokus utama tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut. (Baca juga: Ingin pintu rezeki terbuka lebar? Amalkan 7 Dzikir ringan ini)

Pertama, zikir itu dari sudut kebahasaan artinya "mengingat". Nah, ketika anda mengingat sesuatu, misalnya, maka mau tidak mau anda harus mengakui adanya yang mengingat (al-Dzâkir) dan ada yang diingat (al-Madzkûr).

Sampai pada titik ini, saya kira, kita sepakat. Bahwa seseorang bisa dikatakan "mengingat" ketika ia sadar bahwa dirinya itu mengingat dan dia menyadari akan adanya yang diingat.

Persoalan yang muncul kemudian ialah: Bagaimana kalau yang mengingat itu sudah tenggelam bersama yang diingat sehingga yang mengingat seolah-seolah tak merasa sebagai yang mengingat dan pada akhirnya yang diingat hanyalah yang diingat?

Di sinilah titik keindahan ajaran para sufi. Mereka meyakini bahwa tak ada yang diingat dari yang diingat kecuali Yang Diingat. Dan tak ada yang mengingat dari yang mengingat kecuali yang tak membutuhkan untuk diingat. Dalam bahasa Syekh Yusri, kondisi seperti ini dikenal dengan istilah "al-Ghaibûbah fi al-Madzkûr" (melebur bersama yang diingat).

Saya kira, kondisi seperti ini bukan hanya akan kita temukan di lingkungan para sufi, tapi juga bisa temukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Orang yang gila cinta kepada manusia pun pasti ada yang mengalami kondisi semacam ini. (Baca juga: Ingin cepat mendapat jodoh? Lakukan amalan-amalan dzikir ini)

Kadang orang-orang seperti ini juga suka melakukan hal-hal yang, menurut ukuran manusia normal, itu "gila" sekali. Bahkan, tak jarang di antara mereka ada yang sampai bunuh diri, manakala orang yang dicintainya itu pergi dan tak kembali.

Nah, kalau orang yang gila cinta kepada manusia yang notabene nya tak memiliki cinta saja ada yang bisa mengalami kondisi seperti tadi, apalagi seorang sufi yang memusatkan cintanya kepada Yang MahaSuci dan tak melihat adanya yang suci yang harus diingat kecuali Yang MahaSuci itu sendiri. Orang seperti ini pasti akan lebih gila lagi.

Kedua, seperti yang dituturkan oleh Syekh Yusri, yang saya kutip pada uraian tadi, bahwa orang-orang yang berzikir dengan "lafaz-lafaz aneh" itu sejujurnya tengah mengalami kondisi spiritual tertentu yang terkadang, bagi orang yang tak mengalami hal serupa, akan sulit untuk memahami. (Baca juga: MENAKJUBKAN!!! Inilah 6 Masjid Yang Terbuat Dari Lumpur)

Nah, dalam konteks ini, menarik untuk dikemukan satu kaidah penting yang akan menyelesaikan persoalan kita kali ini.

Dalam tradisi Ilmu Tasawuf, ada sebuah kaidah utama yang menyatakan bahwa: "al-Hâl yaghlibu 'ala al-Ilm" (kondisi itu mendominasi/mengatasi ilmu).

Betitik-tumpu pada kaidah ini, bisa kita katakan bahwa, kondisi spiritual yang sedang menimpa seseorang itu ditoleransi, meskipun dari sudut keilmuan—maksudnya keilmuan eksoterik—itu tak selamanya diamini. Penjelasan terkait kaidah ini, saya kira, memerlukan tulisan secara terpisah di lain nanti. Jika Tuhan Menghendaki.

Saya menduga mungkin akan ada yang berasumsi bahwa itu ini hanyalah "kaidah basi" buatannya para sufi. Dengan tegas saya katakan: tidak sama sekali! Kaidah ini bersandar pada ajaran kitab suci dan sunnah Nabi. Tulisan ini terlalu sempit untuk menguraikan makna dari kaidah yang saya sebutkan tadi.

Tapi intinya itu tadi. Kalau ada orang yang sedang ditimpa kondisi spiritual tertentu, padahal ilmu (eksoterik) tak mengamini kondisinya itu, maka ketika itu, orang tersebut ditoleransi. Dan karena ia ditoleransi, maka ia tak berdosa sama sekali.

Ketiga, harus diakui bahwa tak ada kelompok Islam yang mampu mereguk kelezatan tauhid kecuali para sufi—demikian kata Syekh Yusri. Para sufi itu adalah pereguk kelezatan tauhid sejati. Saya ingin membuktikan hal tersebut, setidaknya, melalui persoalan yang sedang kita diskusikan di sini. Kembali kita kepada persoalan tadi, mengapa orang berzikir dengan lafaz hu?

Oke. Begini. Sekarang kita ambil satu rangkaian kalimat zikir yang paling populer dan yang paling sering kita ucapkan setiap hari. Ambil contoh, misalnya, kalimat lâilâha illallâh.

Perhatikan artinya baik-baik: "Tiada tuhan selain Allah". Coba perhatikan dan resapi kata "tiada" yang berada di awal kalimat ini. Kata "tiada" itu artinya bermakna negasi (al-Nafy). Dan yang manarik—dalam rangkaian kalimat tadi—kalimat tersebut dikaitkan dengan lafaz Ilahi.

Nah, pada titik ini, kalau kita mampu menyelami keindahan ajaran para sufi, manakala kita menemukan di antara mereka ada yang meniadakan huruf negasi dalam rangkaian kalimat suci tadi, sejujurnya kita tak akan menemukan persoalan sama sekali.

Ketika seorang sufi yang sudah sampai pada maqam spiritual tertentu itu mengatakan "Tidak ada tuhan…"—meskipun pada selanjutnya disusul oleh kata "selain Allah"—mereka itu sejujurnya tidak kuat!

Bagaimana mungkin mereka menautkan kata "tiada", yang bermakna peniadaan itu, kepada nama Tuhan yang tak pernah mereka anggap tiada dan selalu ada? Mereka jelas tak akan tega, dan hati mereka akan sulit menerima!

Akhirnya, huruf negasi yang menghiasai rangkaian kalimat tadi itu kemudian dihilangkan. Tinggallah tersisa lafaz illallah, yang artinya "selain Allah".

Sekali lagi, perhatikan dan rasakan terjemahkan lafaz tersebut dengan baik menurut spirit tauhid ala sufi. Kata "selain" itu, meskipun dalam gramatika Bahasa Arab disebut dengan istilah huruf istitsnaiy, yakni huruf yang berfungsi sebagai pengecualian, bukan huruf negasi, tapi tetap saja masih mengandung "aroma" negasi.

Kalau dalam rangkaian lafaz pertama mereka membuang huruf negasi, maka mereka pun melakukan hal yang sama pada lafaz selanjutnya ini. Alasannya satu: mereka tidak kuat dan yang hanya ingin mengingat Yang MahSuci! Bukan huruf-huruf negasi seperti tadi. Dan memang kondisi spiritual mereka yang meniscayakan hal ini.

Sekarang kita sudah hapus dua huruf negasi yang saya sebutkan tadi. Tinggalah tersisa kemudian lafaz "Allah", Dzat Yang MahaSuci.

Nah, sampai pada titik ini, mungkin ada dari anda yang bertanya: Kenapa mereka tidak berzikir dengan lafaz Allah saja? Bukankah sekarang sudah tidak ada huruf negasi lagi? Menjawab pertanyaan ini, di satu sisi, kita harus mengamini.

Betul bahwa berzikir dengan lafaz Allah itu lebih baik dan lebih bisa diterima dari sudut pandang kitab suci dan sunnah Nabi. Tapi, kita akan tetap bertanya, kenapa para sufi tetap melakukan hal ini? Mari kita lanjutkan kembali.

Ingat, spirit utama yang menjiwai ajaran para sufi adalah tauhid yang murni. Tauhid itu bertingkat-tingkat, ada tauhidnya orang awam, ada tauhidnya orang khusus (al-Khawash), dan ada juga tauhidnya orang terkhusus dari yang khusus (khawash al-Khawash).

Nah, level tauhid tertinggi itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang terakhir ini. Yakni tauhid yang benar-benar menegasikan seluruh—sekali lagi seluruh—yang ada selain Yang Ada hatta dirinya sendiri walaupun dirinya itu ada.

Dia tak melihat adanya yang ada dari yang ada kecuali Yang Ada. Keberadaan yang ada selain Yang Ada, meskipun ada, mereka yakini sebagai tiada, karena yang sebenar-benarnya ada dan keberadaannya bukan dari tiada itu hanyalah Yang Ada.

Nah, dari kacamata orang yang sudah sampai pada level tauhid seperti ini, huruf-huruf yang terangkai pada lafaz Allah itu pun dikategorikan sebagai yang ada selain Yang Ada. Sementara mereka tak ingin melihat adanya yang ada dari yang ada kecuali Yang Ada.

Karena huruf-huruf itu dipandang sebagai yang ada selain Yang Ada, maka demi mengingat keberadaan Yang Ada, huruf-huruf itupun mereka tiadakan dan dianggap tiada. Spirit tauhid seperti ini indahnya luar biasa.

Lihat, alif yang terangkai dalam lafaz Allah kemudian dihilangkan. Nah, jika alifnya dihilangkan, maka yang tersisa adalah lafaz lahu (bagi Dia). Tapi—lihat, rasakan, dan perhatikan dengan baik-baik—kata "bagi" itupun—karena ia merupakan huruf dan huruf itu bagian dari sesuatu yang selain Allah—turut dihilangkan sehingga yang tersisa hanyalah lafaz hu.

Nah, sampai pada titik ini, kita akan sadar bahwa inilah rahasia mengapa ada sebagian dari kelompok sufi yang berzikir dengan menggunakan lafaz hu.

Mereka meyakini sepenuhnya bahwa tak ada yang ada dari yang ada kecuali Dia. Selain Dia, semua yang ada yang terhampar di alam yang berada ini—hatta dirinya sekalipun—itu tiada, karena yang ada itu bisa ada dari tiada, diadakan oleh Yang Ada, dan kelak hanya akan kembali kepada Yang Ada yang selalu ada dan tak akan pernah tiada.

Kalaupun anda masih bersikeras memandang bahwa berzikir dengan lafaz seperti itu adalah haram, maka setidaknya, mulai sekarang anda sudah paham.

Inilah spirit tauhid yang tercermin terang dalam ajaran para sufi. Mungkin, di luar sana ada juga sufi yang tak kuat dengan lafaz hu, sehingga mereka tak berzikir dengan menggunakan lafaz hu, tetapi berzikir dengan mengerahkan seluruh jiwa, raga dan pikirannya sampai mereka tak mengingat adanya yang satu kecuali Yang Satu. Wallahu 'alam.

Sumber: qureta.com/Muhammad Nuruddin

0 komentar:

Pecinta Sholawat. Powered by Blogger.